Kali Pertama Dokumentasi

Malam hari sebelum masuk ke dalam kereta Pramex yang akan membawa saya dan teman-teman ke Solo, saya bertanya lagi pada diri saya sendiri. Kamu yakin dengan apa yang akan kamu lakukan esok hari? Kamu yakin bahwa kamu bisa menjalankan tugas ini dengan baik? 

Saya masih sangat hijau di ranah ini. Nol pengalaman, nihil portofolio serta minim perbekalan. 

Namun ketika roda kereta mulai terdengar bergesekan dengan rel, ketika perlahan-lahan saya berjalan mundur dan kursi-kursi di stasiun nampak mengecil, saya yakinkan pada diri saya, bahwa saya harus berupaya sebaik mungkin.

Bukankah Tuhan tidak pernah menguji seorang hamba di luar kesanggupannya? Bukankah keberangkatan ini pertanda restu dariNya? Lalu buat apa saya bimbang?

**

Sudah berkali-kali saya bilang, bahwa kebaikan adalah candu. Senyum tulus orang lain pada kita adalah pemantik endorphin yang membuat kita ingin memencet tombol replay lagi dan lagi. Maka jangan heran pada mereka yang bisa ajeg melakukan kebaikan. Sejatinya semua kebaikan itu menguntungkan si pelaku. Maka dengan sifat manusia yang oportunis, berbuat baik adalah cara paling manusiawi untuk memenuhi kebutuhan dasar kita.

Empat kali mengikuti kelas inspirasi sebagai inspirator (saya agak malu menuliskan istilah ini, mengingat saya tidak inspiratif-inspiratif amat) memberikan banyak input, motivasi dan inspirasi bagi saya. Setiap selesai mengajar saya coba merenungkan, adakah tadi saya memberikan "sesuatu" pada siswa-siswa yang saya ajar?Apakah yang saya sampaikan tadi mereka pahami dengan baik? Apakah metode mengajar saya sudah tepat? Kenapa ya anak-anak terlihat kurang semangat? Tapi kok di kelas lain anaknya bisa sangat semangat? dll

Saya pun sampai pada kesimpulan bahwa saya harus belajar lagi. Saya harus memikirkan lagi inovasi penyampaian mengenai profesi penyiar yang tepat dan mudah dipahami. Saya sangat senang ketika punya kesempatan untuk melihat teman mengajar. Diam-diam saya catat cara mereka yang bisa saya implementasikan di kelas yang saya ampu. 

Empat kali rasanya cukup untuk membawa accordion book ke mana-mana, jika di kali ke lima ikut KI saya masih memakai metode yang sama, fix! Saya harus memberi label "GURU KURANG IDE DAN PEMALAS" pada diri saya sendiri.

Itulah kenapa, di KI ke 5, saya memilih istirahat dulu untuk jadi inspirator. Namun saya tidak ingin berhenti begitu saja. Saya tetap ingin terlibat, kali ini sebagai dokumentator.

**

Kecil hati. Itu yang sebenarnya saya rasakan ketika mengisi form relawan dokumentator Kelas Inspirasi Wonogiri #1. Dan saat nama saya masuk dalam list relawan yang diterima saya bingung antara harus bersyukur atau menyesal, aduh, gimana kalau nanti hasil fotonya abal-abal? Kewanen kowe Dhit, KEWANEN!

Tapi mundur juga bukan solusi. Lalu? Bukankan tidak ada kamera yang mumpuni? Dan kalaupun ada bukankah kamu tidak pernah pegang sebelumnya?

Nah itu lah sebabnya kita harus punya banyak teman dengan beragam kemampuan. Alhamdulillah ada teman baik yang mau meminjamkan kamera plus memberikan tutorial singkat pemakaiannya, meskipun saat hari H, mode kamera yang saya pakai tetap saja automation... hehe. Saya takut kehilangan momen karena sibuk utak-atik pengaturan #alibi. Next challenge, tentunya pakai kamera dengan teknik pengambilan lebih baik.

**

Hari itu pun tiba, tugas perdana saya sebagai dokumentator. Deg-degan, nerveous, makanya saya banyak ngomong, sok ketawa bahagia, sesungguhnya semua hanyalah kamuflase untuk menutupi kegugupan. Dan inilah hasil kegugupan saya...




































Katanya, kali pertama tak ada yang sempurna. Jangankan kali pertama, kali berapapun saya rasa kesempurnaan memanglah bukan jatah manusia. Maka, apa yang terabadi lewat mata kamera  tidak akan lebih indah dari serangkaian komposisi yang sudah Tuhan buat.
Dan yang baru saya tahu, ternyata jadi dokumentator itu tidak semudah cekrek selesai. Tenaganya harus luar biasa karena kita mengejar momen. Harus kerja cepat karena hasil foto kita dinanti banyak orang. Gara-gara memilih kerjaan sebagai dokumentator juga, next KI kalau saya jadi relawan pengajar, saya akan lebih berempati pada dokumentatornya hehe. Bukan, saya bukannya keberatan dikejar-kejar, malah harus, karena kalau tidak foto-foto ini akan karatan tanpa diedit. Namun, setidaknya saya jadi tahu bahwa mengedit foto juga tidak sekali klik jadi.

Akhiru kalam, matur nuwun kagem dek Mazida Marifa yang sudah meminjamkan dan mengajari cara memakai kamera. Terima kasih pada Kakak Rahma yang udah nraktir mimik di Poncab dan nraktir tiket kereta, terima kasih juga buat mas Siswanto dan temannya yang sudah jemput kami di Balapan, mbak Puspita sekeluarga yang sudah mengijinkan kami menginap di rumah. Serta seluruh relawan panitia, maupun pengajar dan dokumentator di KI Wonogiri 1. Terima kasih atas kesempatan cakep ini. 

Semoga ada lagi KI Wonogiri 2, 3, dan seterusnya agar inspirasi ini membahana.





Comments